Jumat, 27 Agustus 2010

Petikan Majma al-bahrain : "Gerbang Peradaban Khidlir

Waktu Sayyidina Musa ditanya oleh salah seorang kaumnya, “Wahai Musa pada zaman sekarang kira-kira manusia yang paling pandai itu siapa?” tanpa berpikir panjang Musa Sang Nabi menjawab, “Saya,” langsung saja Allah tanpa peritah malaikatnya menegur Musa, dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.”

Waktu itu, dialog terjadi di sekitaran bukit Sinai. Musa keheranan atas pernyataan Allah “sesungguhnya siapa dia itu, ya Allah,” “Dia adalah hamba shalih yang sekarang bersemayam di antara pertemuan dua laut (majmaal bahrain).” “Kalau begitu, aku ingin bertemu dengannya, aku ingin berguru kepadanya.” Musa masih saja penasaran.

Sebelum beliau bertanya lagi, satu perintah Tuhan menginstruksikan bahwa sebaiknya kalau ia menghendaki pertemuan agung dengan Hamba Shalih itu, maka selekas mungkin berjalan menyusuri laut. Syaratnya harus membawa ikan yang telah mati. “Maka seandainya ikan itu melompat ke laut, berarti disitulah Hamba Shalih bersemayam.”

Tanpa ba bi bu, Musa mengajak salah seorang muridnya menyusuri pantai mencari Hamba Shalih yang diberitakan Allah. Saking jauh dan lamanya perjalanan, Musa keletihan, mencoba untuk istirahat di gundukan batu yang terdampar di bibir pantai. Musa tertidur sampai beberapa saat. Murid Musa masih saja terjaga, karena dia diamanati untuk mengawasi keberadaan ikan.

Tanpa disadari sang Murid juga tertidur pulas, sampai ia tak sadar bahwa ikannya telah melompat ke laut. Kemudian keduanya terbangun, beranjak untuk melanjutkan perjalanan mencari hamba shalih. Sampai pada suatu tempat mereka kaget dan baru teringat ternyata ikannya sudah tak ada lagi di tempat.

Mereka mengingat-ingat di mana ikan itu meloncat ke lautan. Sampai akhirnya teringat, bahwa ikannya hidup kembali saat keduanya istirahat di atas batu. Lalu, mereka memutuskan untuk kembali ke tempat istirahat tadi. Sampai di tempat itulah mereka bertemu dengan Hamba Shalih, yang kemudian dikenal sebagai Khidlir Balya ibn Malkan.

Musa memutuskan untuk berguru kepada beliau. Khidlir menyanggupi permintaan itu dengan bersyarat. Ada satu syarat yang diajukan Khidlir kepada Musa, yakni jangan sampai ia nanti bertanya-tanya tentang apa yang ia saksikan dengan perbuatan Khidlir. Bahkan sang guru sudah menyangka bahwa Musa tidak akan kuat untuk ngempet pertanyaan-pertanyaannya terhadap apa yang nanti akan terjadi. Pada kenyataannya Musa setelah mengikuti perjalanan Khidlir tak kuasa lagi diam. Beliau selalu menanyakan hal-hal yang telah diperbuat khidlir.

Melihat kisah dua hamba Allah ini, kiranya dapat kita petik pelajaran sebagai ilmu yang kita temukan. Keduanya mewakili wilyah yang berbeda. Musa seorang Nabi yang banyak ilmu, tetapi ilmu itu secara waktu hanya mengetahui yang telah lewat. Ia tidak seperti Khidlir yang mampu njongko apa yang akan terjadi beberapa tahun mendatang (weruh sak durunge winarah). Ilmu Musa tentang masa lalu dan masa sekarang, sedang ilmu Khidlir menjangkau sampai hari esok (futurolog sejati).

Ruang dan waktu adalah batas (wates). Musa karena pengetahuannya terbatas oleh ruang dan waktu, maka ia selalu menegur Sang Guru yang disangkanya berbuat salah. Batas-batas itulah yang menyebabkan manusia kadang menyalahkan orang lain, menasehati, bertanya dan lain sebagainya.

Ketika suatu waktu ada seorang teman selalu menaiki sepeda onthel, walau ia punya sepeda motor, dan teman lainnya selalu menyalahkan, dan mereka bilang “kenapa tidak naik motor saja, supaya cepat sampai.” Bahkan mereka mencurigai teman pemancal pedal itu sebagai teman yang bakhil, alias takut kalong duite untuk beli bensin.

Justru ternyata teman kita yang cinta lingkungan itu sedang memperjuangkan keyakinannya untuk tidak menambah polutan dengan usaha yang diawali dari dirinya sendiri. Ia juga menanam banyak pohon, yang diklaim teman-temannya tidak akan laku jual. Tapi ternyata dia sedang mengaplikasikan keyakinannya tentang amal jariyah yang bisa ditabung melalui tanaman yang menyuplai air dan oksigen untuk manusia, dan yang jelas mempertahankan ekosistem.

Kisah sahabat kita di atas menunjukkan bahwa terbatasnya ilmu itulah yang juga menentukan keberadaban seseorang. Keterbatasan yang tidak diusahankan untuk mencari keluasan dengan cara berdialog dan terus memperluas ilmu akan berujung pada kebuntuan dan miris terjungkal pada kesombongan. Maka perintah mencari ilmu berlaku untuk tempo yang mentok sampai diujung butiran tasbih kehidupan.

Will Durant, sejarawan sekaligus filosuf itu pernah berkata, “bahwa ciri manusia yang berperadaban tinggi adalah ketika orientasi hidupnya menjangkau tempo yang lebih jauh, alias jangka panjang.” Manusia yang perbuatannya ditujukan untuk kekuasaan yang sejengkal, kepentingan sesaat, nafsu sepuncratan, uang yang cepat lepas, dan benda-benda materialis keduniaan, menunjukkan bahwa ia berperadaban rendah.

Sebaliknya manusia yang orientasi amaliyahnya menjangkau sampai akherat, dialah yang diklaim sebagai manusia yang berperadaban tinggi. Manusia yang selalu ingin memperluas ilmu untuk merenggut peradaban yang lebih tinggi tentu tidak akan membatasi hanya ilmu-ilmu tertentu yang dikunyah, tetapi semua ilmu akan ditampung dengan segala kesanggupan daya tampungnya.

Manusia berperadaban tinggi juga pandangannya luas. Ia menampung apapun, seperti samudra menampung segala beban. Kadang ia menampung bangkai kapal, bangkai ikan paus, segala jenis ikan, hewan, bahkan jenis-jenis kotoran apapun dia tampung. Ia seorang hamba yang selalu membaca, mengerti, memahami, dan melayani manusia, dan makhluk lainnya, sehingga selalu mengusahakan diri untuk mencapai maqomat rahmatan lil alamin.

Kalau ditanya, secara keilmuwan Saudi Arabia dengan Indonesia, kira-kira peradabannya tinggi mana? Maka saya sebagai orang Indonesia akan menjawab dengan lantang: INDONESIA. Apa sebab? Karena orang Indonesia lebih tahu tentang Arab ketimbang orang Arab tahu Indonesia. Apa buktinya? Buktinya cukup dengan menunjuk jutaan lembaga pendidikan di nusantara yang mempelajari Bahasa Arab, Tarikh Arab, dan beberapa ilmu yang berasal dari Arab, tetapi coba anda pelik satu saja lembaga pendidikan di Saudi Arabia yang mempelajari Bahasa Indonesia, apalagi bahasa Jawa, pasti susahnya seperti menjaring angin.

Jenis manusia yang berperadaban tinggi adalah mereka yang gemar melayani, suka mengapresiasi, selalu memberi. Kok bisa begitu? Buktinya bayi selalu dilayani oleh Ibunya, selalu diberi Asi, kecupan, pelukan. Selalu ditimang-timang pamomongnya walau bayi tak jarang mengencingi wajah sang Bunda. Ibu tetap saja bilang, “Sayang…ngompol ya….”

Jenis manusia, bangsa, yang berperadaban tinggi adalah bangsa ibu; adalah bangsa yang melahirkan bangsa-bangsa lain yang ada di bumi ini. Dialah bangsa atlantis (Indonesia) yang sampai sekarang digadang-gadang banyak ilmuwan tentang kebenarannya.

Jangan heran ya…kalau Rasul yang paling mulia adalah Rasul Yang Keibuan (ummi), bukan Rasul yang buta huruf, karena tak mungkin Rasul yang Fathonah buta huruf. Filsafat yang dianggap oleh peradaban barat sebagai ilmu pertama juga disebut sebagai mother of science (ibundanya ilmu). Konsekwensinya bangsa yang bertambah ilmunya, seharusnya bertambah sifat keibuannya. Jika ia justru menjadi ancaman bagi bangsa-bangsa lain, maka ia berperadaban rendah.

Selanjutnya kita butuh mencermati dua ayat dalam kisah pertemuan agung tersebut. Pertama bahwa sepandai-pandainya manusia, masih saja ada yang lebih pandai. Ibarat pepatah, setinggi-tingginya langit masih ada langit juga. Wafauqo kulli dzi ilmin aliim. Maka tak sepantasnya seorang hamba sombong atas ilmunya yang sejatinya hanyalah titipan. Karena merasa masih saja bodoh, idealnya seorang hamba akan selalu untuk mencari, berdiskusi, menggali, meneliti, memetakan, untuk mendapatkan keluasan ilmu.

Rabbana la ilmalana illa ma ‘allam tana innaka antal ‘alimul hakim. Ya Tuhan kami tidak ada pengetahuan bagi kami, kecuali apa yang telah Kamu ajarkan kepada kami. Sesungguhnya hanya Engkaulah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Pelajaran kedua menyangkut masalah metode. Bagaimana cara untuk memperoleh ilmu pengetahun yang fundamental. Caranya adalah bertemunya diri dalam keadaan, pada masa, majmaal bahrain. Kalau penulis memahami dua kata arab itu, berarti benturan dua hal. Benturkan dirimu pada suatu keadaan yang menantang mental, intelektual, dan segala macam kecerdasanmu. Semakin sering engkau membenturkan diri, maka potensi yang ada pada dirimu yang sebelumnya mati -seperti ikan yang dibawa muridnya Musa- akan hidup seketika.

Ketika orang kaya jatuh bangkrut menjadi miskin, maka dirinya akan dibenturkan dengan keadaan yang menyeret hatinya yang mati menjadi hidup dengan sinyal spiritual yang selalu online dengan Tuhannya. Ia akan tertunduk dan kemudian menengadah mengingatkan kerapuhan diri dan keagungan Sang Maha Pencipta. Seseorang yang ingin mencapai pemahaman, atau mendapatkan ilmu yang mendasar, maka dia harus berani membentukan diri dengan multi wajah kenyataan.

Perubahan fundamental Anand Krisna dari seorang direktur perusahaan yang sukses secara finansial menuju tekun sebagai spiritualis yang telah menulis ratusan buku, dan membantu ribuan orang menuju ketenangan batin, adalah ketika dia bertemu dengan keadaan ‘majmaal bahrain’ vonis deadline hidupnya tinggal dua minggu, karena terserang leukemia (kanker darah). Sinyal spiritualnya bangkit saat kenyataan membeturkan pada kenyataan yang mengancam hidupnya.

Seandainya dulu kita pernah merantau ke kota-kota untuk menuntut ilmu. Pada awalnya kita masih tergantung dengan biaya orang tua. Seandainya kita menghendaki ilmu mandiri, maka butuh benturan keadaan. Misalnya kita bisa membuang ATM, atau kita memutuskan untuk tidak minta kiriman. Akan terjadi benturan dalam diri kita antara pelepasan ketergantungan diri kepada kiriman orang tua dengan kerja keras untuk mendanai hidupnya. Pada saat itu potensi, kesadaran, kreativitas, yang sebelumnya tertidur akan bangkit dan berjalan.

0 komentar:

Template is modificated by Trisnadi from ": kendhin x-template.blogspot.com