Rabu, 11 Agustus 2010

Mendekati Nol

Seorang skeptisis pernah bertanya kepada saya, apa makna beragama. Tentu saya tidak mungkin menjawabnya dengan sederet argumen perbandingan agama, karena hal itu bukan ilmu sekolahan saya. Maka, meniru para spiritualis romantis, saya menjawab "Karena saya merindukan Tuhan." Akan tetapi, ternyata jawaban itu masih lemah. Tuhan itu siapa? Kenalkah kamu kepada-Nya? Kenal saja belum kok sudah sok rindu.


Ketika saya jawab lagi bahwa saya mengenal Tuhan dari kitab yang diturunkan-Nya melalui utusan-utusan-Nya, pernyataan itu pun masih bisa dipertanyakan lagi. Bukankah itu kitab, bukan Tuhan sendiri? Dan utusan-utusan-Nya. Bukankah mereka masih manusia, bukan Dia sendiri? Dia itu siapa, mana? Jika tanya-jawab ini diteruskan dengan melibatkan seluruh kesadaran dan perasaan, mungkin saya sudah masuk daftar tunggu psikiater untuk mendapat resep antidepresan.


Maka, jawabannya hanya tinggal: untuk menjadi tiada, meniada. Tetapi, meniada itu bagaimana?


Meniada memang bisa bermakna macam-macam. Orang-orang Indonesia yang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk berjihad membantu sesama muslim Palestina yang tengah dihujani bom Israel di Jalur Gaza, mungkin saja bisa berdalih bahwa mereka pun ingin meniada. Padahal, masih ada nilai yang mereka kejar misalnya menjadi syuhada, itu pun dalam kerangka tafsiran tertentu saja. Saya hampir yakin, masih menggelegak kemarahan moral di benak mereka, kemarahan yang meskipun amat heroik dan bisa mengharukan, tetapi tetap satu kemarahan. Padahal, meniada konon justru memenangkan proses jihad terbesar dahulu, yang medannya tidak di mana-mana, tetapi di dalam benak setiap manusia sendiri. Mendekati nol. Menjadi nol. Perang itu terjadi setiap hari. Setiap saat. Dan ini mengisyaratkan "kekerasan" syarat berjihad yang terlalu sering diabaikan bahwa sebelum seseorang berjihad, seharusnya orang itu telah menemukan keterampilan untuk mendekati titik nol itu dahulu di dalam dirinya. Dengan demikian, jika pun harus berjihad ke luar, ia tidak akan menembak ke arah yang salah karena silap oleh murka.


Bukankah jihad sebetulnya adalah konsep yang cerdas dan berwibawa? Cerdas, karena jihad tidak harus melulu berarti semangat heroik untuk begitu saja terjun ke arena konflik lantas saling bunuh dan balas dendam, tetapi justru berupaya maksimal untuk melindungi kehidupan agar dapat terus bertahan dan berkembang. Sejarah pun telah mencatat jihad yang berwibawa dari Ali bin Abi Thalib. Dalam satu peperangan, Ali tidak jadi membunuh seorang musuh yang lehernya sudah dalam jangkauan pedangnya, hanya karena musuhnya itu tiba-tiba meludahinya dan memancing gelegak kemarahannya. Ali berperang karena Allah, bukan karena marah.


Apa pun itu, bagi saya meniada jauh sekali artinya dari semangat menghambur terjun ke laut berenang sampai ke Jalur Gaza demi turut menyelamatkan Palestina, hanya untuk menemukan bahwa orang-orang Palestina ternyata tidak butuh tenaga untuk memperpanjang perang. Meniada, mendekati nol, tidak impulsif seperti itu.


"Nol" bukan tidak ada. Ia ada. Orang bersekolah, bekerja, dan menabung untuk membangun nilai melebihi nol. Akan tetapi, sang arif bersujud, berdoa atau meditasi untuk kembali kepada nol. Saya ingat ketika seorang sufi berkata, "Setiap kali sujud, semua luka dan pedih lenyap. Hilang. Tidak ada." Dan air mukanya bersinar sejernih sisa air wudu yang masih menetes di dagunya. Kepadanya tentu tak layak lagi untuk ditanya, kebahagiaan itu apa. Kebahagiaan? Demikianlah. Dan kebahagiaan itu mengemuka justru pada titik terjauh dari sikap seseorang, yang merasa layak mendongak di atas semua miliknya.


Dalam duka spiritualnya sufi besar Jalaludin Rumi berkata tentang proses Meniada:
" ... dalam berbuat baik dan membantu orang lain, jadilah seperti sungai.
Dalam bersimpati dan berlaku anggun, jadilah seperti matahari.
Dalam menutupi kesalahan orang lain, jadilah seperti malam.
Dalam kemarahan, jadilah seperti mati.
Dalam kesederhanaan dan kerendahan hati, jadilah seperti bumi.
Dalam bertenggang-rasa, jadilah seperti samudra ...."


Setelah semua itu, apa yang tersisa? Mungkin hakikatnya memang, tidak ada apa-apa lagi, selain Ia Yang Maha Esa dan Maha Hadir di balik semua ciptaan-Nya. Jika bertahan hidup memang tidak mudah dan mempertahankan ego sakitnya masya Allah, mungkin di dalam kesadaran bersama-Nya, sesungguhnya, tidak ada lagi "aku" yang perlu dipertahankan. Rumi mungkin hendak berkata, semua sirna kecuali Dia. Bersandar saja kepada-Nya. Tak usah bertanya, terima saja. Tak usah sibuk menoleh ke kanan kiri, diam saja. Dalam hening itu, Ia ada, bukan?


Mendekati nol. Mudah mengatakannya. Berdarah-darah mencapainya. ***

0 komentar:

Template is modificated by Trisnadi from ": kendhin x-template.blogspot.com