Jumat, 27 Agustus 2010

Petikan Majma al-bahrain : "Gerbang Peradaban Khidlir

Waktu Sayyidina Musa ditanya oleh salah seorang kaumnya, “Wahai Musa pada zaman sekarang kira-kira manusia yang paling pandai itu siapa?” tanpa berpikir panjang Musa Sang Nabi menjawab, “Saya,” langsung saja Allah tanpa peritah malaikatnya menegur Musa, dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.”

Waktu itu, dialog terjadi di sekitaran bukit Sinai. Musa keheranan atas pernyataan Allah “sesungguhnya siapa dia itu, ya Allah,” “Dia adalah hamba shalih yang sekarang bersemayam di antara pertemuan dua laut (majmaal bahrain).” “Kalau begitu, aku ingin bertemu dengannya, aku ingin berguru kepadanya.” Musa masih saja penasaran.

Sebelum beliau bertanya lagi, satu perintah Tuhan menginstruksikan bahwa sebaiknya kalau ia menghendaki pertemuan agung dengan Hamba Shalih itu, maka selekas mungkin berjalan menyusuri laut. Syaratnya harus membawa ikan yang telah mati. “Maka seandainya ikan itu melompat ke laut, berarti disitulah Hamba Shalih bersemayam.”

Tanpa ba bi bu, Musa mengajak salah seorang muridnya menyusuri pantai mencari Hamba Shalih yang diberitakan Allah. Saking jauh dan lamanya perjalanan, Musa keletihan, mencoba untuk istirahat di gundukan batu yang terdampar di bibir pantai. Musa tertidur sampai beberapa saat. Murid Musa masih saja terjaga, karena dia diamanati untuk mengawasi keberadaan ikan.

Tanpa disadari sang Murid juga tertidur pulas, sampai ia tak sadar bahwa ikannya telah melompat ke laut. Kemudian keduanya terbangun, beranjak untuk melanjutkan perjalanan mencari hamba shalih. Sampai pada suatu tempat mereka kaget dan baru teringat ternyata ikannya sudah tak ada lagi di tempat.

Mereka mengingat-ingat di mana ikan itu meloncat ke lautan. Sampai akhirnya teringat, bahwa ikannya hidup kembali saat keduanya istirahat di atas batu. Lalu, mereka memutuskan untuk kembali ke tempat istirahat tadi. Sampai di tempat itulah mereka bertemu dengan Hamba Shalih, yang kemudian dikenal sebagai Khidlir Balya ibn Malkan.

Musa memutuskan untuk berguru kepada beliau. Khidlir menyanggupi permintaan itu dengan bersyarat. Ada satu syarat yang diajukan Khidlir kepada Musa, yakni jangan sampai ia nanti bertanya-tanya tentang apa yang ia saksikan dengan perbuatan Khidlir. Bahkan sang guru sudah menyangka bahwa Musa tidak akan kuat untuk ngempet pertanyaan-pertanyaannya terhadap apa yang nanti akan terjadi. Pada kenyataannya Musa setelah mengikuti perjalanan Khidlir tak kuasa lagi diam. Beliau selalu menanyakan hal-hal yang telah diperbuat khidlir.

Melihat kisah dua hamba Allah ini, kiranya dapat kita petik pelajaran sebagai ilmu yang kita temukan. Keduanya mewakili wilyah yang berbeda. Musa seorang Nabi yang banyak ilmu, tetapi ilmu itu secara waktu hanya mengetahui yang telah lewat. Ia tidak seperti Khidlir yang mampu njongko apa yang akan terjadi beberapa tahun mendatang (weruh sak durunge winarah). Ilmu Musa tentang masa lalu dan masa sekarang, sedang ilmu Khidlir menjangkau sampai hari esok (futurolog sejati).

Ruang dan waktu adalah batas (wates). Musa karena pengetahuannya terbatas oleh ruang dan waktu, maka ia selalu menegur Sang Guru yang disangkanya berbuat salah. Batas-batas itulah yang menyebabkan manusia kadang menyalahkan orang lain, menasehati, bertanya dan lain sebagainya.

Ketika suatu waktu ada seorang teman selalu menaiki sepeda onthel, walau ia punya sepeda motor, dan teman lainnya selalu menyalahkan, dan mereka bilang “kenapa tidak naik motor saja, supaya cepat sampai.” Bahkan mereka mencurigai teman pemancal pedal itu sebagai teman yang bakhil, alias takut kalong duite untuk beli bensin.

Justru ternyata teman kita yang cinta lingkungan itu sedang memperjuangkan keyakinannya untuk tidak menambah polutan dengan usaha yang diawali dari dirinya sendiri. Ia juga menanam banyak pohon, yang diklaim teman-temannya tidak akan laku jual. Tapi ternyata dia sedang mengaplikasikan keyakinannya tentang amal jariyah yang bisa ditabung melalui tanaman yang menyuplai air dan oksigen untuk manusia, dan yang jelas mempertahankan ekosistem.

Kisah sahabat kita di atas menunjukkan bahwa terbatasnya ilmu itulah yang juga menentukan keberadaban seseorang. Keterbatasan yang tidak diusahankan untuk mencari keluasan dengan cara berdialog dan terus memperluas ilmu akan berujung pada kebuntuan dan miris terjungkal pada kesombongan. Maka perintah mencari ilmu berlaku untuk tempo yang mentok sampai diujung butiran tasbih kehidupan.

Will Durant, sejarawan sekaligus filosuf itu pernah berkata, “bahwa ciri manusia yang berperadaban tinggi adalah ketika orientasi hidupnya menjangkau tempo yang lebih jauh, alias jangka panjang.” Manusia yang perbuatannya ditujukan untuk kekuasaan yang sejengkal, kepentingan sesaat, nafsu sepuncratan, uang yang cepat lepas, dan benda-benda materialis keduniaan, menunjukkan bahwa ia berperadaban rendah.

Sebaliknya manusia yang orientasi amaliyahnya menjangkau sampai akherat, dialah yang diklaim sebagai manusia yang berperadaban tinggi. Manusia yang selalu ingin memperluas ilmu untuk merenggut peradaban yang lebih tinggi tentu tidak akan membatasi hanya ilmu-ilmu tertentu yang dikunyah, tetapi semua ilmu akan ditampung dengan segala kesanggupan daya tampungnya.

Manusia berperadaban tinggi juga pandangannya luas. Ia menampung apapun, seperti samudra menampung segala beban. Kadang ia menampung bangkai kapal, bangkai ikan paus, segala jenis ikan, hewan, bahkan jenis-jenis kotoran apapun dia tampung. Ia seorang hamba yang selalu membaca, mengerti, memahami, dan melayani manusia, dan makhluk lainnya, sehingga selalu mengusahakan diri untuk mencapai maqomat rahmatan lil alamin.

Kalau ditanya, secara keilmuwan Saudi Arabia dengan Indonesia, kira-kira peradabannya tinggi mana? Maka saya sebagai orang Indonesia akan menjawab dengan lantang: INDONESIA. Apa sebab? Karena orang Indonesia lebih tahu tentang Arab ketimbang orang Arab tahu Indonesia. Apa buktinya? Buktinya cukup dengan menunjuk jutaan lembaga pendidikan di nusantara yang mempelajari Bahasa Arab, Tarikh Arab, dan beberapa ilmu yang berasal dari Arab, tetapi coba anda pelik satu saja lembaga pendidikan di Saudi Arabia yang mempelajari Bahasa Indonesia, apalagi bahasa Jawa, pasti susahnya seperti menjaring angin.

Jenis manusia yang berperadaban tinggi adalah mereka yang gemar melayani, suka mengapresiasi, selalu memberi. Kok bisa begitu? Buktinya bayi selalu dilayani oleh Ibunya, selalu diberi Asi, kecupan, pelukan. Selalu ditimang-timang pamomongnya walau bayi tak jarang mengencingi wajah sang Bunda. Ibu tetap saja bilang, “Sayang…ngompol ya….”

Jenis manusia, bangsa, yang berperadaban tinggi adalah bangsa ibu; adalah bangsa yang melahirkan bangsa-bangsa lain yang ada di bumi ini. Dialah bangsa atlantis (Indonesia) yang sampai sekarang digadang-gadang banyak ilmuwan tentang kebenarannya.

Jangan heran ya…kalau Rasul yang paling mulia adalah Rasul Yang Keibuan (ummi), bukan Rasul yang buta huruf, karena tak mungkin Rasul yang Fathonah buta huruf. Filsafat yang dianggap oleh peradaban barat sebagai ilmu pertama juga disebut sebagai mother of science (ibundanya ilmu). Konsekwensinya bangsa yang bertambah ilmunya, seharusnya bertambah sifat keibuannya. Jika ia justru menjadi ancaman bagi bangsa-bangsa lain, maka ia berperadaban rendah.

Selanjutnya kita butuh mencermati dua ayat dalam kisah pertemuan agung tersebut. Pertama bahwa sepandai-pandainya manusia, masih saja ada yang lebih pandai. Ibarat pepatah, setinggi-tingginya langit masih ada langit juga. Wafauqo kulli dzi ilmin aliim. Maka tak sepantasnya seorang hamba sombong atas ilmunya yang sejatinya hanyalah titipan. Karena merasa masih saja bodoh, idealnya seorang hamba akan selalu untuk mencari, berdiskusi, menggali, meneliti, memetakan, untuk mendapatkan keluasan ilmu.

Rabbana la ilmalana illa ma ‘allam tana innaka antal ‘alimul hakim. Ya Tuhan kami tidak ada pengetahuan bagi kami, kecuali apa yang telah Kamu ajarkan kepada kami. Sesungguhnya hanya Engkaulah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Pelajaran kedua menyangkut masalah metode. Bagaimana cara untuk memperoleh ilmu pengetahun yang fundamental. Caranya adalah bertemunya diri dalam keadaan, pada masa, majmaal bahrain. Kalau penulis memahami dua kata arab itu, berarti benturan dua hal. Benturkan dirimu pada suatu keadaan yang menantang mental, intelektual, dan segala macam kecerdasanmu. Semakin sering engkau membenturkan diri, maka potensi yang ada pada dirimu yang sebelumnya mati -seperti ikan yang dibawa muridnya Musa- akan hidup seketika.

Ketika orang kaya jatuh bangkrut menjadi miskin, maka dirinya akan dibenturkan dengan keadaan yang menyeret hatinya yang mati menjadi hidup dengan sinyal spiritual yang selalu online dengan Tuhannya. Ia akan tertunduk dan kemudian menengadah mengingatkan kerapuhan diri dan keagungan Sang Maha Pencipta. Seseorang yang ingin mencapai pemahaman, atau mendapatkan ilmu yang mendasar, maka dia harus berani membentukan diri dengan multi wajah kenyataan.

Perubahan fundamental Anand Krisna dari seorang direktur perusahaan yang sukses secara finansial menuju tekun sebagai spiritualis yang telah menulis ratusan buku, dan membantu ribuan orang menuju ketenangan batin, adalah ketika dia bertemu dengan keadaan ‘majmaal bahrain’ vonis deadline hidupnya tinggal dua minggu, karena terserang leukemia (kanker darah). Sinyal spiritualnya bangkit saat kenyataan membeturkan pada kenyataan yang mengancam hidupnya.

Seandainya dulu kita pernah merantau ke kota-kota untuk menuntut ilmu. Pada awalnya kita masih tergantung dengan biaya orang tua. Seandainya kita menghendaki ilmu mandiri, maka butuh benturan keadaan. Misalnya kita bisa membuang ATM, atau kita memutuskan untuk tidak minta kiriman. Akan terjadi benturan dalam diri kita antara pelepasan ketergantungan diri kepada kiriman orang tua dengan kerja keras untuk mendanai hidupnya. Pada saat itu potensi, kesadaran, kreativitas, yang sebelumnya tertidur akan bangkit dan berjalan.

Kekasih Tak Bisa Menanti

Akhirnya akan sampai di sini

Di amanat Ilahi Rabbi

Orang-orang tak lagi bisa menanti

Zaman harus segera berganti pagi

Aku tangiskan terisinya hati

Para kekasih di susun-susun sunyi

Terlalu lama mereka didustai

Sampai hanya Tuhan yang menemani

Ya Allah

Sudah tak bisa diperpanjang lagi

Kesabaran mereka, ketabahan mereka

Sesudah diremehkan dan dicampakkan

Akhirnya akan sampai di sini

Di arus gelombang yang sejati

Kalau perahu itu adalah tangan-Mu sendiri

Tak akan ada yang bisa menghalangi

(By. Emha Ainun Nadjib)

Minggu, 22 Agustus 2010

Kedudukan hadits allhumma laka shumtu

Kedudukkan Hadits (Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa alarizqika afthartu)

Oleh : Luthfie Abdullah Ismail

Lafazh hadits seperti padajudul di atas tidak kami temukan referensinya, yang ada hanya dengan lafazh : Allahumma laka shumtu wa ala rizqika afthartu dan Bismillahummalaka shumtu wa ala rizqika afthartu dan Allahummalaka shumna wa ala rizqika aftharna,Allahumma taqabbal minna innakas samii'ul aliim

Lafazh yang pertamariwayatnya adalah sebagai berikut :

عَنْ حُسَيْنِابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَن عَنْ مُعَاذَ بْنِ زُهْرَةً اَنَّهُ بَلَغَهُ اَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ اِذَا اَفْطَرَ قَالَ:

اللهُمَّلَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ


Artinya: Dari Husen bin Abdurrahman dari Mu'adz bin Zuhrah bahwasanya (Husen) telahmenyampaikan kepadanya, bahwa Nabi saw apabila setelah berbuka (beliau)mengucap " Allahumma laka shumtu wa ala rizqika afthartu Hadits inidiriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya 6:309; Baihaqi dalam Sunan Kubra4:239.



Hadits ini tergolong "Mursal" karena tidak disebutkannya sahabat pada sanadnya, sedangkanMu'adz bin Zuhrah adalah seorang tabi'i, jadi tidak mungkin ia meriwayatkan dariNabi saw tanpa perantaraan sahabat.

Hadits "mursal" tidak dapat dijadikan hujjah karena sanadnya terputus, ini berarti isinyapun tidak boleh dijadikan dasar untuk menetapkanadanya doa setelah berbuka denganlafazh seperti itu.

( Baca jugaAunul Ma'bud 6:482; Badzlul Majhud 11:162; Nailul Authar 4:301;dan Irwa'ulGhalil 4:38 serta Majma'uz Zawaaid 3:156)

Lafazh yang kedua diriwayatkan oleh Thabrani melalui sahabat Anas bin Malik dalam kitabMu'jamul Aushath 16.338 dan Mu'jamus Shaghir 3:52 dengan lafazh :


كَانَرَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا أَفْطَرَ قَالَ : بِسْمِ اللهِ اللهُمَّ لَكَ صُمْتُوَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Artinya: Adalah Rasulullah saw apabila berbuka mengucap : Bismillahi Allahumma laka shumtuwa ala rizqika afthartu


Hadits inijuga lemah karena pada sanadnya terdapat rawi DAWUD BIN ZIBRIQAN yangdilemahkan dilemahkan ulama' hadits.

Abu Zur'ahmengatakan : Ia Matrukul Hadits (ditinggalkan ). Abu Dawud memberi komentar :Ia rawi yang lemah dan haditsnya ditinggalkan. Imam Juzjani mendustakannya ,Nasaa'i berkata : Ia tidak termasuk orang kepercayaan

Lafazh yangketiga juga diriwayatkan oleh Thabranimelalui sahabat Ibnu Abbas

كَانَالنَّبِيُّ ص اِذَا أَفْطَرَ قَالَ : اللهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَأَفْطَرْنَا ، اللهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا

اِنَّكَ اَنْتَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ


Artinya: Adalah Nabi saw apabila berbuka mengucap : Allahumma laka shumna Wa alarizqika aftharna, Allahumma taqabbal minna innaka anta samii'ul aliim


Hadits inijuga lemah karena pada sanadnya terdapat rawi ABDUL MALIK BIN HARUN .


Tentang rawiini imam Ahmad mengatakan : Ia Dha'iful Hadits. Yahya al-Qaththan menyebutnya"kadzdzab" = pendusta. Abu Hatim berkata : Matrukul Hadits sedang kan Ibnu Hibbanmengatakan : Ia biasa memalsukan hadits ( Mizanul I'tidal 11:7 dan 11:666)


Kesimpulan:



Oleh karenaketiga hadits di atas sudah jelas kelemahannya maka dapat disimpulkan bahwa bacaandoa setelah berbuka dengan lafazh seperti yang tersebut di atas tidak pernah ada tuntunannya dari Nabi saw


Doa yang ada tuntunan dari Nabi saw sebagaimana tersebut dalam riwayat :


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَإِذَا أَفْطَرَ قَالَ : ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ

الأَجْرُ إِنْشَاءَ اللَّهُ ( رواه ابو داود و البيهقي والحاكم والدارقطني



Artinya: Adalah Rasulullah saw apabila berbuka beliau mengucapkan : Dzahaba dhama'uwabtalatil uruuq wa tsabatal ajru insya Allah ( telah hilang dahaga, telah basahtenggorokan dan telah tetap ganjarannya, insya Allah) ( HR Abu Dawud,Baihaqi,Hakim dan Daraquthni )

Rabu, 11 Agustus 2010

Mendekati Nol

Seorang skeptisis pernah bertanya kepada saya, apa makna beragama. Tentu saya tidak mungkin menjawabnya dengan sederet argumen perbandingan agama, karena hal itu bukan ilmu sekolahan saya. Maka, meniru para spiritualis romantis, saya menjawab "Karena saya merindukan Tuhan." Akan tetapi, ternyata jawaban itu masih lemah. Tuhan itu siapa? Kenalkah kamu kepada-Nya? Kenal saja belum kok sudah sok rindu.


Ketika saya jawab lagi bahwa saya mengenal Tuhan dari kitab yang diturunkan-Nya melalui utusan-utusan-Nya, pernyataan itu pun masih bisa dipertanyakan lagi. Bukankah itu kitab, bukan Tuhan sendiri? Dan utusan-utusan-Nya. Bukankah mereka masih manusia, bukan Dia sendiri? Dia itu siapa, mana? Jika tanya-jawab ini diteruskan dengan melibatkan seluruh kesadaran dan perasaan, mungkin saya sudah masuk daftar tunggu psikiater untuk mendapat resep antidepresan.


Maka, jawabannya hanya tinggal: untuk menjadi tiada, meniada. Tetapi, meniada itu bagaimana?


Meniada memang bisa bermakna macam-macam. Orang-orang Indonesia yang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk berjihad membantu sesama muslim Palestina yang tengah dihujani bom Israel di Jalur Gaza, mungkin saja bisa berdalih bahwa mereka pun ingin meniada. Padahal, masih ada nilai yang mereka kejar misalnya menjadi syuhada, itu pun dalam kerangka tafsiran tertentu saja. Saya hampir yakin, masih menggelegak kemarahan moral di benak mereka, kemarahan yang meskipun amat heroik dan bisa mengharukan, tetapi tetap satu kemarahan. Padahal, meniada konon justru memenangkan proses jihad terbesar dahulu, yang medannya tidak di mana-mana, tetapi di dalam benak setiap manusia sendiri. Mendekati nol. Menjadi nol. Perang itu terjadi setiap hari. Setiap saat. Dan ini mengisyaratkan "kekerasan" syarat berjihad yang terlalu sering diabaikan bahwa sebelum seseorang berjihad, seharusnya orang itu telah menemukan keterampilan untuk mendekati titik nol itu dahulu di dalam dirinya. Dengan demikian, jika pun harus berjihad ke luar, ia tidak akan menembak ke arah yang salah karena silap oleh murka.


Bukankah jihad sebetulnya adalah konsep yang cerdas dan berwibawa? Cerdas, karena jihad tidak harus melulu berarti semangat heroik untuk begitu saja terjun ke arena konflik lantas saling bunuh dan balas dendam, tetapi justru berupaya maksimal untuk melindungi kehidupan agar dapat terus bertahan dan berkembang. Sejarah pun telah mencatat jihad yang berwibawa dari Ali bin Abi Thalib. Dalam satu peperangan, Ali tidak jadi membunuh seorang musuh yang lehernya sudah dalam jangkauan pedangnya, hanya karena musuhnya itu tiba-tiba meludahinya dan memancing gelegak kemarahannya. Ali berperang karena Allah, bukan karena marah.


Apa pun itu, bagi saya meniada jauh sekali artinya dari semangat menghambur terjun ke laut berenang sampai ke Jalur Gaza demi turut menyelamatkan Palestina, hanya untuk menemukan bahwa orang-orang Palestina ternyata tidak butuh tenaga untuk memperpanjang perang. Meniada, mendekati nol, tidak impulsif seperti itu.


"Nol" bukan tidak ada. Ia ada. Orang bersekolah, bekerja, dan menabung untuk membangun nilai melebihi nol. Akan tetapi, sang arif bersujud, berdoa atau meditasi untuk kembali kepada nol. Saya ingat ketika seorang sufi berkata, "Setiap kali sujud, semua luka dan pedih lenyap. Hilang. Tidak ada." Dan air mukanya bersinar sejernih sisa air wudu yang masih menetes di dagunya. Kepadanya tentu tak layak lagi untuk ditanya, kebahagiaan itu apa. Kebahagiaan? Demikianlah. Dan kebahagiaan itu mengemuka justru pada titik terjauh dari sikap seseorang, yang merasa layak mendongak di atas semua miliknya.


Dalam duka spiritualnya sufi besar Jalaludin Rumi berkata tentang proses Meniada:
" ... dalam berbuat baik dan membantu orang lain, jadilah seperti sungai.
Dalam bersimpati dan berlaku anggun, jadilah seperti matahari.
Dalam menutupi kesalahan orang lain, jadilah seperti malam.
Dalam kemarahan, jadilah seperti mati.
Dalam kesederhanaan dan kerendahan hati, jadilah seperti bumi.
Dalam bertenggang-rasa, jadilah seperti samudra ...."


Setelah semua itu, apa yang tersisa? Mungkin hakikatnya memang, tidak ada apa-apa lagi, selain Ia Yang Maha Esa dan Maha Hadir di balik semua ciptaan-Nya. Jika bertahan hidup memang tidak mudah dan mempertahankan ego sakitnya masya Allah, mungkin di dalam kesadaran bersama-Nya, sesungguhnya, tidak ada lagi "aku" yang perlu dipertahankan. Rumi mungkin hendak berkata, semua sirna kecuali Dia. Bersandar saja kepada-Nya. Tak usah bertanya, terima saja. Tak usah sibuk menoleh ke kanan kiri, diam saja. Dalam hening itu, Ia ada, bukan?


Mendekati nol. Mudah mengatakannya. Berdarah-darah mencapainya. ***

Tinta Untuk Calon Suamiku

Assalammualaikum wr wb.

Buatmu,

Calon suamiku.

Entah angin apa yang membuai hari ini, yang membuatku begitu berani untuk mencoretkan sesuatu untuk dirimu yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Aku sebenarnya tidak pernah berniat untuk memperkenalkan diriku kepada siapa pun. Apalagi mencurahkan sesuatu yang khusus buatmu sebelum tiba masanya. Kehadiran seorang lelaki yang menuntut sesuatu yang aku jaga rapi selama ini semata-mata buatmu. Itulah hatiku dan cintaku, membuatkan aku tersedar dari lenaku yang panjang.
Aku telah dididik ibu semenjak kecil agar menjaga maruah dan mahkota diriku karena Allah telah menetapkannya untuk suamiku, dan dia itu adalah dirimu …suatu hari nanti. Kata ibu, tanggungjawab orangtua terhadap anak perempuan ialah menjaga dan mendidiknya sehingga seorang lelaki mengambil-alih tanggungjawab itu dari mereka. Jadi, kau telah ada dalam diriku sejak dulu lagi. Sepanjang umurku ini.
Aku menutup pintu hatiku daripada lelaki mana pun karena aku tidak mau mengkhianatimu. Aku menghalangi diriku dari mengenali lelaki manapun karena aku tidak mau mengenali lelaki lain selainmu, terlebih lagi memahami mereka. Karena itulah aku sekuat daya dan upayaku yang lemah ini membatasi pergaulanku dengan siapa pun yang bukan mahramku.
Aku sering mendapati diri diperhatikan lelaki. Aku mencoba untuk tidak berprasangka buruk terhadap mereka, tetapi lebih baik aku berjaga-jaga karena sudah banyak kejadian dan contoh banyak di depan mata kita. Apabila terpaksa berurusan dengan mereka, akan aku selalu bersikap ‘expressionless face’ dan ‘cool’. Akan aku palingkan wajahku dari lelaki yang asyik memperhatikan dan menatapku ataupun mencoba menyapaku. Aku sebisa mungkin melarikan pandanganku daripada lawan jenis karena pesan Sayyidatina ‘Aisyah R.A : “sebaik-baik wanita ialah yang tidak memandang dan dipandang”

Aku tidak ingin dipandang cantik oleh lelaki lain, biarlah aku hanya cantik di matamu. Apa gunanya aku menjadi idaman banyak lelaki sedangkan aku hanya boleh menjadi milikmu seorang. Aku tidak merasa bangga menjadi rebutan lelaki bahkan aku merasa terhina diperlakukan begitu seolah-olah aku ini barang yang boleh dimiliki siapa saja sesuka hati. Aku juga tidak mau membuat seorang lelaki putus asa karena dikecewakan lantaran terlalu mengharapkan sesuatu yang tidak dapat kuberikan.

Bagaimana akan aku jawab di hadapan Allah kelak andai ditanyakan-Nya?
Apakah itu sumbanganku kepada manusia selama hidup di muka bumi?

Kalau aku tidak ingin kau memandang perempuan lain, aku dulu yang perlu menundukkan pandanganku. Aku harus memperbaiki kelemahan dan menghias pribadiku karena itulah yang dituntut Allah. Kalau aku inginkan lelaki yang baik menjadi suamiku, aku juga perlu menjadi perempuan yang baik. Bukankah Allah telah menjanjikan perempuan yang baik itu untuk lelaki yang baik?
Tidak dapat aku nafikan, sebagai remaja aku memiliki perasaan untuk menyayangi dan disayangi; mencintai dan dicintai. Namun, setiap kali perasaan itu datang, setiap kali itulah aku mengingatkan diriku bahwa aku perlu menjaga perasaan itu karena ia semata-mata untukmu
Allah telah memuliakan seorang lelaki yang bakal menjadi suamiku untuk menerima hati dan perasaanku yang suci. Bukan hati yang menjadi sisa lelaki lain. Lelaki itu berhak mendapat kasih yang tulen, bukan yang telah dibagi-bagikan.
Diriku yang lemah ini diuji Allah ketika datang seorang lelaki yang secara tidak sengaja ingin berkenalan denganku. Aku secara keras menolak, pelbagai dalil aku kemukakan, tetapi ia tidak mau mengalah, ia tidak mau berhenti di situ. Dia selalu menghubungiku dan menggangguku.Aku merasa tidak tenteram, seolah-olah seluruh hidupku yang ceria selama ini telah dirampas dariku. Aku tertanya-tanya adakah aku berada di tebing kebinasaan? Aku beristighfar memohon keampunan-Nya. Aku juga berdoa agar Dia melindungi diriku daripada pelbagai kejahatan. Kehadiran lelaki itu membuatkan aku banyak memikirkanmu. Kau seolah-olah hadir disampingku,melindungiku. Aku tahu lelaki yang melamarku itu bukan dirimu. Aku sangat yakin pada kata hatiku, “women intuition”-ku mengatakan lelaki itu bukan dirimu.
Aku bukanlah seorang gadis yang cerewet dalam memilih pasangan hidup. Siapalah diriku ini untuk memilih berlian sedangkan aku hanya sebutir pasir yang berserak di mana-mana. Tetapi aku juga punya keinginan seperti gadis lain, dilamar lelaki yang bakal dinobatkan Allah sebagai ahli syurga, memimpinku ke arah tujuan yang satu. Tidak perlu kau memiliki wajah seindah Nabi Yusuf A.S yang mampu mendebarkan jutaan gadis untuk membuatku terpikat. Andainya kaulah jodohku yang tertulis di Lauful Mahfuz, Allah pasti meletakkan rasa kasih di dalam hatiku,pun jua di hatimu tatkala pertama kali kita berpandangan. Itu janji Allah.
Akan tetapi, selagi kita belum diikat dengan ikatan yang sah, selagi itu pula…jangan kau zahirkan perasaanmu itu kepadaku karena kau masih tidak mempunyai hak untuk berbuat begitu. Juga jangan kau lampaui batasan yang telah ditetapkan syariat-Nya. Aku takut itu akan memberi imbas yang tidak baik dalam kehidupan kita kelak. Permintaanku tidak banyak, cukuplah dirimu yang diinfaqkan seluruhnya pada mencari ridha Ilahi.
akan berasa amat berbahagia andai dapat menjadi tiang ataupun sandaran perjuanganmu. Bahkan aku amat bersyukur pada Ilahi kiranya akulah yang ditakdirkan-Nya meniup semangat juangmu, mengulurkan tanganku untuk berpaut sewaktu jatuh atau tersungkur di medan yang dijanjikan Allah dengan kemenangan atau syahid itu. Akan aku keringkan darah dari lukamu dengan tanganku sendiri. Itulah impianku. Aku pasti berendam airmata darah andainya engkau menyerahkan seluruh cintamu padaku. Bukan itu yang aku impikan. Cukuplah kau mencintai Allah dengan sepenuh hatimu. Karena dengan mencintai Allah kau akan mencintaiku karena-Nya. Cinta itu lebih abadi dari cinta insan biasa. semoga cinta itu juga yang akan mempertemukan kita kembali di syurga.

Aku juga tidak ingin dilimpahi kemewahan dunia. Cukuplah dengan kesenangan yang telah diberikan ibu dan bapakku dulu. Apa gunanya kau menimbun harta untuk kemudahanku jika harta itu membuatkan kau lupa pada tanggungjawabmu terhadap agamamu. Aku tidak akan sekali-kali merasa bahagia melihatmu begitu. Biarlah kita hidup di bawah jaminan Allah sepenuhnya. Itu lebih bermakna bagiku.

Siapa pun bakal suamiku...aku tak resah...
Hanya mohon ketabahan..

andai aku mendapatimu bernama A…,B...atau C...
insyaAllah aku terima secara iikhlasnya...

andai aku ditakdirkan bermadu..
semoga aku sabar sesabarnya....

andai aku ditakdirkan bersama dengan si pendusta, atau penipu...
mohon agar aku kuat untuk membimbingnya...
semoga aku jadi isteri yang taat pada suaminya..
Wahai calon suami ku......

aku tidak lah sesempurna Khadijah untuk kau banggakan....
aku tidak setabah Siti Hajar untuk kau perlukan.......
aku tidak semanis Zulaikha untuk kau pandang......
aku tidak sekuat Maryam untuk kau dambakan......
aku tidak semampu Rabiatul adawiyah untuk dijadikan srikandi......

namun aku punya sekeping hati yang tulus ikhlas untuk jadikan mereka sebagai contoh kepada ku untuk menjadi yang terbaik untukmu hanya karena satu......karena CINTAKU PADA ALLAH YANG SATU DAN RASUL......
Wahai calon suamiku…PEMILIK CINTAKU SETELAH ALLAH DAN RASUL.......

insyaAllah.......

Calon Suamiku yang dirahmati,

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (lelaki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka”.(An-Nissa’:34)

Membenarkan seperti apa yang telah Dia katakan dalam QalamNya yang mulia, aku meyakini bahwa engkau adalah pemimpin untukku dan anak-anak pewaris jihad perjuangan Islam yang bakal lahir. Jadikanlah pernikahan ini sebagai asas pengokohan iman dan bukannya untuk memuaskan bisikan syaitan yang menjadikan ikatan pernikahan sebagai pemuas nafsu semata. Semoga diriku dan dirimu senatiasa didampingi kerahmatan dan keridhaanNya. Lakukanlah tanggungjawabmu itu dengan syurga kesabaran, qana’ah ketabahan semoga kita akan menjadi salah satu daripada jamaah shaff menuju ke syurga …InsyaAllah…

Ingin aku berbicara mengenai pemberianmu kepadaku. Kau terlalu membimbangkan akan kehendak bersifat duniawi semata-mata. Benar? Ketahuilah, aku tidak menginginkan hantaran bersusun, mas kawin yang hanya akan menyebabkan hatiku buta dalam menilai arti kita dipertemukan oleh Allah atas dasar Dienullah. Cukuplah seandainya, maharku sebuah Qalam Mulia, Al-Quran, kerana aku meyakini Qalam itu mampu memimpin rumahtangga kita dalam meraih keridhaanNya bukan kekayaan dunia yang bersifat sementara. Bantulah aku dalam menegakkan agama Allah ini melalui pernikahan, karena ia adalah lahan untuk aku menyempurnakan separuh daripada agamaku, InsyaAllah. Akhlakmu yang terdidik indah oleh ibu bapak dan orang sekelilingmu, itulah yang aku harapkan daripada kekayaan duniawi yang kau sediakan. Kutitipkan sebagian rezeki yang diberikan-Nya untukku dalam Jalan Dakwah, tidak ada lagi pemborosan dan bakhil karena semuanya berada di dalam udara Qana’ah (berpuas hati dengan apa yang ada), ridha dan yakin bahwa dunia ini bukanlah Janatunna’im. Lihatlah rumahtangga Rasulullah S.A.W, kadang-kadang berlalu bulan demi bulan, pernah dapurnya tidak berasap kerana tidak ada bahan makanan yang dapat dimasak. Walaupun demikian susahnya, rumahtangga Rasulullah S.A.W tetap menjadi rumahtangga yang paling bahagia yang tidak ada bandingnya hingga ke hari ini.

Terlalu panjang rasanya aku mencoretkan tinta ini. Cukup dahulu buat perkenalan, andai diizinkan aku akan kembali menitipkankan lagi kiriman bertintakan hati ini. Akhir bicara, maaf jika tiada pertemuan hingga hari ini karena dihatiku biarlah merindu ketika berjauhan daripada jemu tatkala kita disatukan.


Pertemuan… menghadiahkan kita kasih sayang… jika cinta satu pasti bertemu… ia tidak ternilai… kerana antara hati kita telah tiada antaranya lagi yg ada hanyalah cinta kasih Ilahi… kita berpisah hanya sementara kerna pertemuan bukan milik kita… jasad dan suara berjauhan sentiasa namun cinta abadi… biar berpisah selalu menderita kerana syurga menagih ujian sedang neraka dipagari oleh nikmat bertemu tidak jemu… berpisah tak gelisah…

Wassalam

Dari,
Tulang rusuk kirimu.

Template is modificated by Trisnadi from ": kendhin x-template.blogspot.com