Rabu, 22 Juli 2009

Pendidikan Usia Dini Anak Jepang

Si Sulung dan Si Tengah sedang minum teh. Bertelekan di atas lantai, sambil nonton televisi. Saya sedang mencuci piring, berjarak sekitar lima meter dari mereka. Kemudian terdengar Si Tengah memanggil. Tangannya terjulur memegang gelasnya, dan dia bilang, "Tehnya sudah habis." Maksudnya mungkin, ingin tambah teh atau dia tak memerlukan lagi gelasnya, dan ingin saya mengambilnya untuk saya cuci.

"Dek, dek..., itu tidak baik. Kamu lihat Mama sedang mencuci piring. Sana bawa sendiri gelasnya," kata si Sulung.

Ungkapan sederhana Si Sulung itu membuat saya banyak berpikir. Terdengar lumayan dewasa. Menyenangkan. Sementara ketika saya membuang kotoran sampah makanan, saya melihat di tong sampah ada beberapa tusukan sate yang sudah dipatahkan (namun tetap bersambung), dan satu minuman kardus yang sudah dilipat pipih.

Si Sulung. Saya tahu dia yang membuang tusukan sate dan kotak minuman itu.

Di sekolahnya, anak-anak diajar bagaimana adab membuang sampah. Tusukan sate mesti dipatahkan (tak sampai putus), agar tak mudah menusuk sesuatu. Bisakah Anda membayangkannya, dan jadi mengerti? Tusukan sate, bila dibuang begitu saja, konstruksinya masih cukup kuat untuk melubangi kantong sampah, bahkan mungkin menusuk bagian tubuh manusia. Tapi kalau sudah dipatahkan, akan jauh berkurang kekuatan konstruksinya.

Kotak susu, kalau dilipat dan dipipihkan, membuat volumenya jauh lebih kecil. Tujuannya, membantu tugas pengangkut sampah, agar mobil pengangkut tak penuh dengan ruang-ruang udara yang terperangkap dalam kotak-kotak yang sebenarnya sudah kosong namun tak dipipihkan.

Hal-hal seperti di atas ditanamkan dalam jiwa dan mental anak-anak di SD Jepang.

Saya melihatnya sebagai bentuk pendidikan membuat anak mau peduli akan efek-efek negatif perbuatan mereka. Secara tidak langsung, juga mendidik anak mau peduli dengan keadaan orang lain yang mungkin terkena dampak buruk perbuatan mereka.

Saya tidak tahu, saya berusaha mengingat-ingat pelajaran saya waktu SD. Yang teringat cuma jangan buang sampah sembarangan, paling tidak jangan buang kulit pisang di jalan karena bisa membuat orang tergelincir. Tapi sayangnya, saya ingat bahwa lingkungan sekolah saya tidaklah menjadi bentuk nyata ajaran-ajaran seperti itu. Ruang guru seringkali saya dapati diramaikan dengan pemandandangan sisa makanan di meja mereka, kemasan kue, kulit buah, yang tak segera dibereskan usai para pendidik itu bersantap. Mereka duduk berbincang-bincang, sampai jam istirahat selesai. Ketika bel tanda waktu istirahat selesai, mereka pun kembali mengajar di kelas. Selanjutnya datanglah petugas kebersihan sekolah mengambil piring bekas mereka, membuang sampah mereka...

Nah, sekarang kembali kepada kita sebagai orang tua. Bila kita tak memperlihatkan kepedulian akan efek 'kemalasan' kita pada orang lain, seperti mengupas jeruk atau pisang dan membiarkannya tergeletak begitu saja di tempat terdekat di mana kita makan, untuk selanjutnya menunggu orang lain yang membereskannya, maka ini jadi contoh buat anak-anak kecil di sekitar kita untuk belajar tak berempati pada orang lain, belajar tak memikirkan lebih jauh efek kelakuan kita.

Sumber : http://mendidikanak.blogspot.com/2006/07/pendidikan-usia-dini-anak-jepang.html

Anak TK Belajar Huruf & Angka, Penganiayaan Terselubung

Pdpersi, Jakarta - Sebagian Taman Kanak-Kanak telah mengajarkan baca, tulis dan hitung (calistung). Selain melanggar ketentuan, hal itu juga dikhawatirkan akan berpengaruh negatif pada perkembangan jiwa anak bahkan
termasuk dalam tindak penganiayaan (abuse).

Demikian diungkapkan Seto di Jakarta, kemarin. Seto mengungkapkan, berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) No 20 tahun 2003, TK masuk dalam sistem pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan titik berat pembelajaran moral, nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian. Semua nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui metode pembiasaan.

UU tersebut, kata Seto, sama sekali tidak menyebutkan TK sebagai sarana persiapan bagi anak sebelum memasuki SD. Begitu pula dengan pembelajaran huruf dan angka, jelas-jelas tidak masuk dalam kurikulum TK. Sehingga,
pendidikan calistung dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap aturan. Namun, lanjut Seto, pada prakteknya, pelanggaran itu terjadi di sebagian besar TK. Hal itu ditenggarai terkait dengan tuntutan mayoritas SD yang mengharuskan calon siswanya telah menguasai calistung.

"Orang tua kemudian balik menuntut pengelola TK. Mereka ingin anaknya dipersiapkan seoptimal mungkin agar tidak terhambat masuk SD. Inilah lingkaran kekeliruan yang pada akhirnya menjadikan anak sebagai korban.
Akhirnya TK bukan menjadi sarana belajar sambil bermain, tapi belajar sambil menangis," kata Seto yang juga anggota Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Padahal, kata Seto, secara ilmiah anak-anak dibawah usia sekolah belum siap diajarkan calistung. Anak-anak TK tidak boleh dibebani target, melainkan diberi kesempatan bermain sepuas-puasnya. Sementara, pembelajaran
tentang nilai-nilai kehidupan diberikan dengan metode tematik yang mudah difahami. Seto menegaskan, sebagai upaya mengembalikan hak-hak anak yang dianggap kini terampas oleh sistem pendidikan yang salah, pada 2006
mendatang BSNP akan mengeluarkan regulasi yang merombak sistem pendidikan kelas satu hingga tiga SD. Aturan itu akan merubah sistem pembelajaran berpola tematik, seperti yang diterapkan pada murid TK. Pembahasan
pelajaran akan disederhanakan, disesuaikan sengan usia anak yang masih belia.

Aturan tersebut, kata Seto, kini tengah digodok BSNP dan rencananya tahun depan akan mulai disosialisasikan. Keputusan untuk merombak aturan tersebut didasarkan atas evaluasi BSNP pada muatan kurikulum yang saat ini
berlaku. Kurikulum saat ini dinilai terlalu berat, disertai target dan materi yang tidak sesuai dengan usia anak. "Sekarang ini sekolah menjadi kewajiban yang membebani anak. Padahal, sekolah dan belajar itu hak anak. Itu yang kerap kita lupakan," ujar Seto.

Berdasarkan pengamatan Media di sejumlah TK, selain diajarkan bernyanyi dan keterampilan unuk melatih motorik, setiap harinya murid-murid TK juga mendapat pendidikan mengenal huruf-huruf alfabet serta angka. Bahkan,
anak-anak yang masih berusia empat sampai lima tahun itu juga diharuskan berlatih menuliskannya dalam buku tulis seperti halnya murid SD.

Di TK Kartika Bojong Gede Kabupaten Bogor, seluruh muridnya telah terbiasa membawa buku tulis setiap paginya. Selama tiga jam bersekolah di TK, dari pukul tujuh hingga sepuluh pagi, mereka berlatih menulis dan membaca
hingga merangkainya dalam kata. Begitu pula dengan angka, selain menuliskannya, mereka juga dilatih pertambahan dan pengurangan sederhana.

"Alma sudah bisa baca sedikit-sedikit, diajar mama, tapi di sekolah juga belajar," kata Alma, seorang murid. Nani, orang tua Alma mengaku terkadang merasa kasihan pada anaknya karena kerap harus bersusah payah menghapal
dan menulis. Padahal, memegang pinsil saja, merupakan pekerjaan berat bagi anaknya yang belum genap lima tahun. Kendati begitu, Nani mengaku tak berani menyatakan keberatannya pada pihak sekolah. "Kalau dia tidak bisa
baca tulis, ya susah masuk SD. Semua SD yang ada di sekitar sini memberi tes baca tulis pada setiap anak yang mendaftar. Ada juga yang tidak, tapi SD-nya kurang bagus," kata Nani.

Seorang guru yang mengajar di sebuah TK di Bandung mengaku dirinya kerap harus mengelus dada melihat perjuangan yang harus dilalui anak didiknya saat diajari calistung. Padahal, untuk memusatkan perhatian saja,
murid-muridnya masih kesulitan. "Mereka masih sulit berkonsentrasi. Keinginan bermain jauh lebih besar. Saya sendiri tak tega, tapi ini sudah ketentuan sekolah. Padahal, dulu tidak begini, murid saya yang saya ajar
sepuluh tahun lalu tidak belajar calistung tapi sekarang sudah jadi orang semua," kata guru yang enggan disebut namanya tersebut.

Sumber : http://adnafathani.multiply.com/journal/item/45/Anak_TK_Belajar_Huruf_Angka_Penganiayaan_Terselubung

Generasi Karbitan "ala" Indonesia

Jenuh dengan kerjaan menyempurnakan dan mengupdate situs toko buku online milik saya, akhirnya saya iseng sekedar cari-cari informasi yang menarik. Pada saat blogwalking, saya menemukan tulisan dengan judul “Calistung di TK, haruskah?” dari sebuah blog milik seorang kepala sekolah sebuah TK bertaraf Internasional di Singosari, Malang.

Membaca tulisan ini, saya menjadi teringat kembali pengalaman saya 18 tahun yang lalu ketika saya yang masih imut-imut itu mulai mengenyam pendidikan sekolah taman kanak-kanak di sebuah kota bernama Aachen, Deutschland. Visi dan misi yang diterapkan oleh si penulis kepada sekolahnya hampir sama dengan apa yang saya alami waktu itu. Masa taman kanak-kanak tampaknya hanyalah masa-masa untuk bermain, bermain, dan bermain. Tidak ada pelajaran membaCA, menuLIS, dan berhiTUNG. Yang ada hanyalah “pelajaran” bermain, bernyanyi, melukis, dan bersosialisasi.

Ada sebuah pengalaman pahit yang dialami oleh ibu saya karena memiliki anak “cerdas” seperti saya. Saat itu saya sedang membaca sebuah buku di ruang kelas, di saat teman-teman yang lain sibuk dengan permaian “kota-kotaan” (sebidang karpet yang bergambar jalan raya dan pekarangan rumah, kita dapat bermain mobil-mobilan dan membuat rumah-rumahan di atas karpet tersebut. Mainan ini menjadi mainan favorit kami waktu itu). Guru saya menghampiri ibu saya dan kurang lebih berkata “apa yang Ibu lakukan terhadap Dian?”, sambil melirik ke arah saya, mengerutkan dahi, sekaligus mengangkat bahunya, dan setelah itu pergi tanda mengejek. Ibu saya terheran-heran, bukankah wajar anak usia TK sudah bisa membaca (mungkin tingkat kewajaran yang dimaksud Ibu saya adalah tingkat kewajaran yang berlaku di Tanah Air Tercintanya). Jangankan membaca, membedakan huruf O dan angka 0 saja anak-anak TK di Jerman Barat tidak bisa. Sementara saya yang “cerdas” itu sudah pandai membaca kisah-kisah Nabi setebal buku telepon dengan lancar.

Lantas kenapa mereka bisa jauh lebih cerdas daripada bangsa yang sejak TK sudah pandai berhitung “akar pangkat tiga” ini? sebenarnya bukan cerdas atau tidak, tapi lebih ke pengembangan diri yang lebih sistematis jangka panjang dan tidak instant. Tampaknya mereka sangat paham tentang perkembangan psikologi anak. Mereka hanya memberikan apa yang seharusnya diberikan. Anak-anak usia TK adalah anak-anak dengan masa-masa membangun pondasi kepribadiannya, mereka membiarkan anak mereka larut dalam permainannya (tidak termasuk video game!!!) dan pergaulan dengan teman-temannya. Menginjak usia SD (Disana untuk bisa masuk SD, harus berusia tidak kurang dari 7 tahun) anak-anak mulai diajari menulis dan berhitung. Menginjak usia 11 tahun, ada evaluasi terhadap perkembangan bakat dan akademis si anak, mereka yang lebih dominan bakatnya akan disekolahkan ke sekolah bakat sesuai bakatnya masing-masing dan mereka yang sisi akademisnya lebih menonjol dipersilahkan untuk melanjutkan ke kelas 5. Menginjak usia 17 tahun, anak diberi pendidikan untuk hidup mandiri, seperti harus mencari pekerjaan untuk uang saku mereka.

Bagaimana dengan Indonesia?? Anda lebih tahu jawabannya. Sistem pendidikan kita sepertinya lebih memiliki tendensi terhadap orang-orang yang berkepentingan, kurikulum ganti-ganti, tahun ini EBTANAS tahun berikutnya UAN, tahun ini UAN 5 mata pelajaran tahun berikutnya 3 mata pelajaran, dan bla..bla..bla tentang hal yang tidak urgent!!! Keadaan ini diperparah dengan kondisi sosial masyarakat di Indonesia yang memegang prinsip GENGSI is number one. “Eh jeng, anak saya yang umur 2 tahun udah bisa baca koran lho…”, “Waaahh, Ibu bangga adek udah bisa nulis”, “Kasian tuh jeng Vina, anaknya udah 4 tahun tapi belum bisa baca”… atau mungkin “Eh, anaknya keterima di Universitas mana? Fakultas apa?” itulah ungkapan-ungkapan yang sering muncul di masyarakat kita yang akhirnya memunculkan budaya “Membuat anak cerdas cara instant” dan hasilnya adalah GENERASI KARBITAN. Anak-anak yang seharusnya menikmati permaianan mereka harus dibebani dengan les ini les itu, anak-anak yang harusnya belajar bersosialisasi terlalu dibuat sibuk dengan PR-PR mereka, dan banyak lagi kekerasan terhadap anak yang secara tidak sadar telah dilakukan oleh orang tua mereka.

Nah, generasi karbitan inilah yang kini mengisi pembangunan di Indonesia. Generasi yang sudah muak dengan rumus-rumus matematika, fisika, dan kimia. Generasi yang otaknya sudah penuh dengan hapalan nama-nama menteri Orde Baru, UUD 45, tanggal-tanggal di dalam buku sejarah, pengertian sosiologi menurut ini..menurut itu. Generasi yang sudah bosan untuk belajar.

Jadi, bagaimana menurut anda?

Sumber : http://prabuwardhana.wordpress.com/2008/03/03/generasi-karbitan-ala-indonesia

Calistung di TK, haruskah?

Dari waktu ke waktu, sejak pertamakali menjadi guru Play group dan TK, hingga memegang amanah sebagai kepala play group dan TK seperti sekarang, setiap kali bertemu wali murid selalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah anak saya nanti selepas TK bisa membaca, menulis dan berhitung (Calistung)? bahkan ada yang anaknya baru masuk TK A (Kelas Nol Kecil) sudah bingung anaknya belum bisa membaca. Wah.. wah.., gejala apa ini?

Saya setuju dengan apa yang ditulis Dewi Faizah Utama dalam artikel Anak KArbitan. Saat ini, yang berkepentingan sekolah pada anak-anak usia dini adalah orang tuanya. bukan anak itu sendiri. Sudah banyak contoh anak-anak berbakat yang pada masa kecilnya menjadi bintang, tidak lama kemudian cahayanya meredup karena kehabisan energi yang dikuras habis orang tua untuk kepuasan egonya.

Anakku sayang oh anakku malang. Hingga hari ini, betapa banyak anak-anak yang menjadi korban ambisi orang tua. Bayi baru lahir, orang tua sudah sibuk mencari baby school, mengumpulkan buku-buku tentang melejitkan kemampuan ini dan itu anak, dan mencari info-info lain berkenaan dengan upaya menjadikan anaknya sebagai yang terbaik, terhebat, terkenal dan ter..ter.. lainnya.

Masa kanak-kanak yang merupakan usia emas mereka, masa terbaik untuk tumbuh dan berkembang sembari menikmati keceriaan, terlindas begitu saja karena kepentingan dan kekhawatiran semu orang tua. Kepentingan yang mengatasnamakan kekhawatiran terhadap masa depan anak. Takut anak tidak mampu mengikuti perkembangan zaman, takut anak tidak berhasil di masa depan, dan terutama takut anaknya tidak bisa bersaing dengan yang lain. Sebenarnya kekhawatiran tersebut wajar seandainya orang tua pun bereaksi dengan sikap yang bijak. Bukankah memberi yang terbaik untuk anak tidak harus mengabaikan hak asasi anak? terutama hak bermain dan menikmati masa kanak yang bahagia.

Isu golden age benar-benar dimanfaatkan dengan berhasil oleh kaum kapitalis pendidikan. Saat ini buku-buku tentang melejitkan kemampuan anak usia dini dalam berbagai bidang menjadi best seller. Berbagai lembaga pendidikan yang mengakomodasi kepentingan konsumen pendidikan– yakni orang tua yang menginginkan produk instan pendidikan demi kesuksesan anak mereka– laris manis. Sekolah yang dikemas full day school pun menjadi pilihan bagi orang tua yang tidak memiliki atau bisa dikatakan tidak mau menyediakan waktunya untuk memberikan hak anak mereka mendapatkan asuhan dan didikan terbaik dari orang tuanya.

Sebenarnya, kalau saya mau, di sekolah saya bisa saja saya buat program-program yang bisa memuaskan orang tua. Termasuk pembelajaran calistung pada anak-anak prasekolah yang sebenarnya menjadi harapan orang tua –supaya anaknya bisa diterima di sekolah favorit yang nota bene tidak mau direpotkan anak-anak yang belum bisa membaca-menulis dan berhitung– bisa saja saya berikan. Tentu sekolah saya akan semakin diminati dan terkenal sebagai pencetak bibit unggul yang outputnya selalu diterima di berbagai sekolah favorit. Padahal perlu dipertanyakan, benarkah sekolah favorit selalu merupakan sekolah unggulan?

Sebuah persepsi yang salah kaprah jika sekolah favorit selalu diidentikkan sebagai sekolah unggul. Bagaimana tidak unggul, jika mereka hanya mau menerima input berupa produk siap proses yang berupa calon-calon siswa yang ber-IQ tinggi, berbakat dalam berbagai bidang karena sudah mengikuti les dan kursus ini-itu, tentu mereka tidak terlalu disibukkan dalam proses. Output pun mungkin mereka tidak khawatir kalah bersaing. Namun benarkah outcome mereka otomatis handal? Dalam beberapa kasus, saya mengamati ternyata tidak selalu anak keluaran sekolah favorit menjadi anak yang sukses sekaligus dapat diterima oleh lingkungannya.

Syukurlah saya tidak terpengaruh dengan berbagai isu yang berkembang untuk memacu kecerdasan dan kemampuan anak di sekolah saya dengan program-program yang menindas anak, termasuk memaksakan anak belajar calistung secara formal di TK. Apalagi Dewan Yayasan juga sangat menekankan untuk tidak mengajarkan calistung di TK. Lebih berbahagia lagi masih banyak orang tua bijak yang mempercayakan anak-anak mereka di sekolah saya. Tentu di luar itu banyak juga yang memiliki visi yang sama dengan saya. Bahkan, pemerintah pun mengakui TK saya sebagai sekolah model dan berstandar internasional, alhamdulillah...

Sungguh saya tidak akan menyalahgunakan kepercayaan itu. Anak-anak itu, adalah makhluk Allah yang berhak mendapatkan pelayanan terbaik berupa pendidikan yang tepat sesuai masa perkembangannya. Saya tidak mau memaksakan sesuatu yang dapat melukai mereka secara psikologis dan mengakibatkan mereka cepat matang tetapi nantinya cepat layu.

Anak-anak itu, yang saya anggap sebagai anak-anak saya sendiri, berhak mendapatkan pendidikan yang berlandaskan cinta, kasih sayang tulus, yang tidak diwarnai ambisi dan ego orang tua maupun guru yang ingin dicap sebagai pendidik sukses. Anak-anak itu, berhak menikmati saat-saat indah, berkembang dan matang dengan alami.

Anakku sayang… tataplah masa depanmu dengan keceriaan dan kebahagiaan. Jadilah generasi terbaik yang mampu menjadi teladan bagi bangsa ini, sebagai insan cendekia yang berakhlaq mulia. Semoga kelak kalian menjadi pemimpin yang mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat dan berperadaban tinggi. Amin…

Sumber : (Zahratul Munawarah) di

Template is modificated by Trisnadi from ": kendhin x-template.blogspot.com