Rabu, 22 Juli 2009

Calistung di TK, haruskah?

Dari waktu ke waktu, sejak pertamakali menjadi guru Play group dan TK, hingga memegang amanah sebagai kepala play group dan TK seperti sekarang, setiap kali bertemu wali murid selalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah anak saya nanti selepas TK bisa membaca, menulis dan berhitung (Calistung)? bahkan ada yang anaknya baru masuk TK A (Kelas Nol Kecil) sudah bingung anaknya belum bisa membaca. Wah.. wah.., gejala apa ini?

Saya setuju dengan apa yang ditulis Dewi Faizah Utama dalam artikel Anak KArbitan. Saat ini, yang berkepentingan sekolah pada anak-anak usia dini adalah orang tuanya. bukan anak itu sendiri. Sudah banyak contoh anak-anak berbakat yang pada masa kecilnya menjadi bintang, tidak lama kemudian cahayanya meredup karena kehabisan energi yang dikuras habis orang tua untuk kepuasan egonya.

Anakku sayang oh anakku malang. Hingga hari ini, betapa banyak anak-anak yang menjadi korban ambisi orang tua. Bayi baru lahir, orang tua sudah sibuk mencari baby school, mengumpulkan buku-buku tentang melejitkan kemampuan ini dan itu anak, dan mencari info-info lain berkenaan dengan upaya menjadikan anaknya sebagai yang terbaik, terhebat, terkenal dan ter..ter.. lainnya.

Masa kanak-kanak yang merupakan usia emas mereka, masa terbaik untuk tumbuh dan berkembang sembari menikmati keceriaan, terlindas begitu saja karena kepentingan dan kekhawatiran semu orang tua. Kepentingan yang mengatasnamakan kekhawatiran terhadap masa depan anak. Takut anak tidak mampu mengikuti perkembangan zaman, takut anak tidak berhasil di masa depan, dan terutama takut anaknya tidak bisa bersaing dengan yang lain. Sebenarnya kekhawatiran tersebut wajar seandainya orang tua pun bereaksi dengan sikap yang bijak. Bukankah memberi yang terbaik untuk anak tidak harus mengabaikan hak asasi anak? terutama hak bermain dan menikmati masa kanak yang bahagia.

Isu golden age benar-benar dimanfaatkan dengan berhasil oleh kaum kapitalis pendidikan. Saat ini buku-buku tentang melejitkan kemampuan anak usia dini dalam berbagai bidang menjadi best seller. Berbagai lembaga pendidikan yang mengakomodasi kepentingan konsumen pendidikan– yakni orang tua yang menginginkan produk instan pendidikan demi kesuksesan anak mereka– laris manis. Sekolah yang dikemas full day school pun menjadi pilihan bagi orang tua yang tidak memiliki atau bisa dikatakan tidak mau menyediakan waktunya untuk memberikan hak anak mereka mendapatkan asuhan dan didikan terbaik dari orang tuanya.

Sebenarnya, kalau saya mau, di sekolah saya bisa saja saya buat program-program yang bisa memuaskan orang tua. Termasuk pembelajaran calistung pada anak-anak prasekolah yang sebenarnya menjadi harapan orang tua –supaya anaknya bisa diterima di sekolah favorit yang nota bene tidak mau direpotkan anak-anak yang belum bisa membaca-menulis dan berhitung– bisa saja saya berikan. Tentu sekolah saya akan semakin diminati dan terkenal sebagai pencetak bibit unggul yang outputnya selalu diterima di berbagai sekolah favorit. Padahal perlu dipertanyakan, benarkah sekolah favorit selalu merupakan sekolah unggulan?

Sebuah persepsi yang salah kaprah jika sekolah favorit selalu diidentikkan sebagai sekolah unggul. Bagaimana tidak unggul, jika mereka hanya mau menerima input berupa produk siap proses yang berupa calon-calon siswa yang ber-IQ tinggi, berbakat dalam berbagai bidang karena sudah mengikuti les dan kursus ini-itu, tentu mereka tidak terlalu disibukkan dalam proses. Output pun mungkin mereka tidak khawatir kalah bersaing. Namun benarkah outcome mereka otomatis handal? Dalam beberapa kasus, saya mengamati ternyata tidak selalu anak keluaran sekolah favorit menjadi anak yang sukses sekaligus dapat diterima oleh lingkungannya.

Syukurlah saya tidak terpengaruh dengan berbagai isu yang berkembang untuk memacu kecerdasan dan kemampuan anak di sekolah saya dengan program-program yang menindas anak, termasuk memaksakan anak belajar calistung secara formal di TK. Apalagi Dewan Yayasan juga sangat menekankan untuk tidak mengajarkan calistung di TK. Lebih berbahagia lagi masih banyak orang tua bijak yang mempercayakan anak-anak mereka di sekolah saya. Tentu di luar itu banyak juga yang memiliki visi yang sama dengan saya. Bahkan, pemerintah pun mengakui TK saya sebagai sekolah model dan berstandar internasional, alhamdulillah...

Sungguh saya tidak akan menyalahgunakan kepercayaan itu. Anak-anak itu, adalah makhluk Allah yang berhak mendapatkan pelayanan terbaik berupa pendidikan yang tepat sesuai masa perkembangannya. Saya tidak mau memaksakan sesuatu yang dapat melukai mereka secara psikologis dan mengakibatkan mereka cepat matang tetapi nantinya cepat layu.

Anak-anak itu, yang saya anggap sebagai anak-anak saya sendiri, berhak mendapatkan pendidikan yang berlandaskan cinta, kasih sayang tulus, yang tidak diwarnai ambisi dan ego orang tua maupun guru yang ingin dicap sebagai pendidik sukses. Anak-anak itu, berhak menikmati saat-saat indah, berkembang dan matang dengan alami.

Anakku sayang… tataplah masa depanmu dengan keceriaan dan kebahagiaan. Jadilah generasi terbaik yang mampu menjadi teladan bagi bangsa ini, sebagai insan cendekia yang berakhlaq mulia. Semoga kelak kalian menjadi pemimpin yang mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat dan berperadaban tinggi. Amin…

Sumber : (Zahratul Munawarah) di

0 komentar:

Template is modificated by Trisnadi from ": kendhin x-template.blogspot.com