Selasa, 16 September 2008

BERSENDIRI

Suatu malam, dalam dialog imajinernya,

seorang murid menyatakan kepada gurunya, bahwa ia baru saja sampai pada titik esensial feminitasnya.

Titik itu didapatnya setelah serangkaian dialog yang dilakukannya…….
dengan pepohonan, jalanan dan akhirnya dinding-dinding di dalam hatinya sendiri.
Bukan, ia bukan tidak punya kawan.
Ia sebetulnya memiliki banyak teman dan saudara, yang selalu siap menawarkan jasa yang murni berdasarkan hubungan yang tulus, atau paling tidak, hubungan saling menguntungkan, yang selama ini telah terbangun.
Tetapi yang tidak dimilikinya hanya satu…….pasangan hati.

Ketika itu, dalam sebuah perjalanan, ia juga telah menemukan sebuah mesjid yang teguh, teduh dan begitu menarik untuk persujudan kejerian hatinya,……tetapi ia kemudian tersadar….bahwa masjid itu terlalu suci baginya. Ia sedang datang bulan.
Dan ditemukannya dirinya terhenyak di tepi jalan yang kosong, dengan darah yang keluar dari dinding-dinding hatinya yang berguncang, yang pelan tapi pasti, rata dengan tanah.

Takut menghujat Tuhan, sempat juga ia sampai pada puncak kemarahannya, yang berbalik dalam sepersekian detik menjadi permohonan ampun yang mendalam, bagi keteguhan imannya yang kemudian disadarinya telah runyam.

Ia memang perempuan. Luar dalam.
Sulitnya, Ia tidak punya lagi cukup keberanian dan tenaga untuk menolak kenyataan.
Beginilah titik nadir feminitas perempuan itu, bias dijabarkan dengan serangkaian kenyataan internal yang paradoksal.

Ia ingin tertawa tetapi hatinya pedih.
Ia ingin menyelesaikan kepedihannya……tetapi ia tidak ingin kepedihannya memedihkan orang lain.
Ia ingin berdialog, tetapi yang bisa menjawab hanya air yang keluar dari matanya sendiri.
Ia ingin dikuatkan oleh Tuhan, tetapi ia pikir kesucian menolaknya……
Dan ia menemukan dirinya menjadi lemah dibawah lemah.

Dan dialog itu pun terjadi :
“Jika saya tertawa, saya tahu itu adalah pemberian bagi lingkungan, tetapi juga kebohongan bagi kenyataan internal saya. Sungguh ingin saya temukan orang tempat saya bias mencurahkan kejerian hati saya dengan jujur. Anehnya, sapaan-sapaan simpati yang saya terima membentur dinding hati.
Sebaliknya, hati saya merindukan dialog yang ternyata monolog.
Keriuhan internal ini membuat saya capai.
Jadi bagaimana, ya Mursyid ?”
“Bersendiri. Bukan menyendiri, tetapi bersendiri,” tegas gurunya.
“Wakilkan seluruh derita kepada Tuhan.
Serahkan kepadaNYA.
Ketika tidak ada lagi dinding yang kuat untuk bersandar, Tuhan itu cukup”
Jadi kesimpulannya, ia tidak boleh dan memang tidak mungkin lagi berkeinginan.

Bersendiri, menurut An-Nifari yang dibahaskan kembali oleh Muhammad Zuhri, adalah kenyataan yang berbeda dengan menyendiri, kerena bersendiri adalah kenyataan internal yang ditemukan. Ketika itu, kata-kata tidak bisa lagi memecahkan apapun. Airmata apalagi, yang menjadi kering bersamaan dengan habisnya tenaga untuk menangis.

Ketika itu, hati memang minta diistirahatkan dalam pelukan keabadian, yakni ALLAH sendiri.
Biarkan ALLAH saja yang menjadi kekuatan, menjadi sisi “maskulin” yang menggenapkan. Dan itu yang ingin saya lakukan sekarang.
ALLAHU ROBBUL IZZATI, ALLAHU ROBBANA, ALLAHU MALIKI, ALLAHU AKBAR……………………

by. Miranda Risang Ayu

0 komentar:

Template is modificated by Trisnadi from ": kendhin x-template.blogspot.com