Kamis, 23 Oktober 2008

Inikah saatnya?

Dalam masyarakat Timur,menikah memiliki nilai yang sangat sakral (suci), terlebih bagi setiap diri muslim. Ditinjau dari sudut pandang dakwah, pernikahan adalah bagian penting karena rumah tangga berperan bagi kelangsungan dakwah itu sendiri. Rumah tangga merupakan lapis terbawah dari struktur masyarakat, disanalah tampak sebuah miniatur masyarakat. Untuk lebih jelas dalam membuka hikmah pernikahan, berikut ini ada sebuah tulisan yang cukup menarik, yang mungkin akan memudahkan kita dalam memahami peran dan kualifikasi keluarga, yang ditulis melalui serangkaian perenungan panjang oleh seorang ibu yang masih muda usia, Miranda Risang Ayu. Ia dikenal juga sebagai koreografer yang dua karyanya, Istighfar dan Tasbih, sempat menjadi pembicaraan karena idenya untuk menjadikan keindahan gerak kain sebagai alternatif keindahan gerak tubuh.

Ia menuturkan bahwa konon pada suatu titik dalam sejarah, kehidupan berpusat pada keluarga. Dalam masyarakat nomaden, komunitas sebuah masyarakat hanya ditandai dengan berkumpulnya beberapa orang yang terikat oleh hubungan perkawinan dan darah. Karenanya, dalam perspektif subyektif anggotanya, hampir tidak ada perbedaan antara sebuah keluarga dan sebuah masyarakat. Ketika seorang ibu memasak, memberi makan suami dan anak-anaknya, ia segera menemukan totalitas pengabdian bagi seluruh umat manusia, karena memang hanya suami dan anak-anaknya – satu-satunya masyarakat yang ditemuinya di tengah-tengah hutan belantara atau padang pasir yang melingkunginya. Miranda menggarisbawahi bahwa dalam masyarakat nomaden kualifikasi keluarga masih sekedar berperan untuk menjaga kelangsungan generasi.

Dalam perkembangan sejarah, fungsi tersebut tampak tidak mengalami perubahan, tetapi derajat kualifikasinya yang berubah. Jika dalam masyarakat berburu atau agraris yang sederhana, memperbanyak anak adalah tonggak pertahanan utama kekuatan suatu masyarakat, maka dalam masyarakat modern persoalan itu telah lama diselesaikan oleh kemajuan di bidang teknologi dan diplomasi. Fungsi pelestarian fisikal sebuah generasi, yang semula merupakan otoritas sebuah keluarga, telah digeser oleh kekuatan lain. Dengan demikian fungsi sebuah keluarga untuk menjaga kelangsungan generasi dalam sebuah masyarakat telah bergeser kepada fungsi yang lebih kualitatif. Keluarga tidak lagi sekedar istitusi yang memberikan fasilitas pemenuhan makanan bergizi yang bersifat lahiriah, tetapi lebih dari itu, yaitu pemenuhan “gizi batiniah”.

Di dalam keluarga bermukim manusia, makhluk yang sarat dengan misteri. Ia adalah puncak penciptaan Sang Khalik, demikian tinggi ia diposisikan sebagai khalifah hingga membuat Iblis iri dan mengingkari ketentuan-Nya. Ya, Iblis tak mampu memahami realitas yang disebut manusia, bahkan malaikat pun mempertanyakan esensi kenapa harus diciptakan makhluk bernama manusia (Q 2:30),” ...mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?...” Dalam pandangan kaum arif, sebagaimana dituangkan dalam Qur’an 2: 31-32, bahwa iblis dan malaikat mengakui ketidakmampuan dirinya, ..” Kami hanya mengetahui apa yang telah Engkau ajarkan, kami hanya memahami apa yang telah Engkau berikan, ciptaan kami adalah hasil karya-Mu, pengetahuan dan visi kami hanyalah rahmat-Mu, Apa yang telah Engkau tunjukkan kepada kami, kami tahu – apa yang di luar itu – kami tidak tahu...

Adam adalah keseluruhan, yang lainnya adalah bagian. Segala sesuatu dalam bagian dijumpai dalam keseluruhan, tapi bagian tak bisa mencakup keseluruhan. Tak satu bagian pun benar – benar bisa memahami keseluruhan, tapi keseluruhan tahu situasi setiap bagian. Kala keseluruhan mengetahui dirinya sendiri maka semua bagian menjadi objek pengetahuannya. Tapi jika bagian mengetahui dirinya sendiri ia tidak bisa mengetahui lebih dari dirinya sendiri – sekalipun ia mengetahui dirinya sendiri ia tetap tak mengetahui bagian lainnya.

Apakah seorang anak Adam itu? Barzakh yang serba meliputi, bentuk ciptaan dan Zat yang Mahabenar ada di dalamnya; Transkipsi menyeluruh, memaklumkan Esensi Hakiki dan sifat-sifat suci-Nya; Berhubungan dengan kelembutan – kelembutan dan dan Ketakterbandingan, berupa realitas – realitas dalam kerajaan; Diri batiniahnya tenggelam dalam samudera Kesatuan, diri lahiriahnya kekeringan di pantai perpisahan. Tak satupun dari sifat – sifat Allah tak termanifestasikan dalam esensi-Nya.

Dia Maha Mengetahui, Maha Mendengar, dan Maha Melihat, Maha Berbicara dan Berkenhendak, Maha Hidup dan Maha Kuasa. Begitu pula dengan realitas – realitas dalam kosmos, masing – masing terejawantah di dalamnya. Entah wilayah – wilayah samawi atau unsur – unsur, mineral –mineral, tumbuh –tumbuhan, atau hewan – hewan. Tertulis di dalamnya bentuk kebaikan dan kejahatan, Bercampur di dalamnya kebiasaan setan dan hewan – hewan tunggangan. Kalaulah dia bukan bukan cermin Wajah Abadi, mengapa para malaikat bersujud di hadapannya? ...Dia adalah refleksi keindahan Kehadiran Suci. Jika iblis tak bisa memahami ini, apa yang menjadi masalah? Semua yang tersembunyi dalam Khazanah Tersembunyi Allah tampakkan dalam diri Adam.

Menikah, bukan sekedar tuntutan lahiriah dan berkaitan dengan pemuasan hubungan seksual sepasang suami istri dalam koridor halal. Menikah juga berarti komitmen untuk membangun rumahtangga, yang kelak di dalamnya akan lahir jiwa – jiwa yang relatif suci dari prasangka dan kotornya duniawi. Anak – anak memang jiwanya sepenuhnya masih di langit, baginya belajar adalah bermain dan bermain adalah belajar. Ketika ia bermain dengan mobil kecilnya, melewati jembatan yang ia buat dengan temannya, dan kemudian terpeleset dan terguling mobil kecilnya, ia hanya tertawa gembira. Ketika di saat lain ia bermain “pasar – pasaran” ia kemudian salah satu temannya merebut seluruh uang kecilnya ia pun cuma menangis sesaat untuk kemudian larut kembali dalam gelak tawa dengan teman-temannya. Bagi si anak, tidak ada hari kemarin, esok dan lusa. Pun si anak tidak mengalami resiko apapun ketika mobilnya terguling, uangnya direbut. Bagaimana dengan kita manusia dewasa? Di manakah kita? Kita berada di bumi kebutuhan, bumi keterbatasan ...meniti panjangnya nafas sendiri, entah sampai kapan?

Saya sepakat dengan Mbak Mir, bahwa menjadi orangtua berarti proses melangit, karena kita harus menjemput jiwa anak yang masih melangit untuk turun dalam bumi kesadaran, bumi kebutuhan. Ketika anak sekolah, kita mengajarkan resiko : mendapat nilai baik atau buruk, naik kelas atau tinggal kelas, lulus dan tidak lulus. Sehingga kelak ketika ia dewasa mampu melampaui resiko yang lebih besar. Kelak ia akan dihadapkan pada resiko penganggguran, PHK, dan sejenisnya. Namun semua resiko itu masih bisa dijawab, resiko pengangguran bisa diantisipasi dengan belajar sungguh-sungguh, mendapatkan pekerjaan yang bagus dan bekerja dengan tekun. Resiko sakit bisa diatasi dengan dokter dan obat, juga dengan alternatif lain seperti herbal, akupuntur, pijat dan lainnya. Resiko jiwa bisa dijawab dengan konsultasi pada psikolog atau mencari nasehat ulama, mengikuti pengajian, berdoa dengan shalat juga, bukankah ada sajadah dan Qur’an. Tapi bagaimana jika itu belum cukup? Ketidakmampuan menemui Tuhan, mengenal-Nya, merindu-Nya, jatuh cinta kepada-Nya, ikhlas atas segala kehendak-Nya – bukankah itu resiko terberat yang akan ditanggung oleh setiap anak-cucu Adam. Dan itulah tugas terberat sepasang orangtua bagi anak-anaknya, mendidik mereka, menjemput mereka dari langit dan mengantarkan mereka kepada kesadaran fitri, sebuah kerinduan pada perjanjian dalam alam alastu.

Dan tugas mendidik bagi orangtua adalah tugas yang tidak mengenal akhir hingga ajal menjemput. Dikatakan tugas terberat karena mendidik mereka berarti “mendidik diri” karena tidak mungkin lahir anak jujur dari orangtua dan lingkungan masyarakat pendusta. Tidak mungkin lahir anak-anak yang cinta damai dan pemaaf jika orangtua dan masyarakatnya yang gemar berkelahi berebut isi perut, berebut kekuasaan, dan ini hanya akan menyuguhkan ajaran kekerasan. Tidak pula akan lahir anak –anak yang selalu rindu pada kelezatan dzikir dan kebahagiaan tulus disaat berbagi dengan sesamanya, ya...tidak akan lahir dari orangtua yang hanya mampu mengingat-Nya di kala sempat. Apalagi sat ini pendidikan semakin dikaburkan dari esensinya, sehingga pendidikan diidentikkan sekolah an sich, pendidikan hanya diukur dengan nilai rapor sekolah, nilai ujian kelulusan, pendidikan hanya dinilai dari seberapa besar mampu memberi akses kepada jenis pekerjaan – pekerjaan yang akan mengalirkan rupiah/dollar berlimpah.

Keikhlasan, kesederhanaan, kejujuran, keakraban, kesetiaan, kasih sayang dan nilai-nilai luhur yang memperkaya hati, memperkaya jiwa semakin digusur dari dunia pendidikan. Bintang kelas hanya bagi mereka yang memiliki angka-angka mendekati sempurna, ranking satu. Saya belum menemui ada anak menjadi bintang kelas karena kejujurannya. Tugas pendidikan juga telah disempitkan maknanya, bahwa saat ini adalah tugas guru, tugas sekolah. Orangtua justru semakin terpenjara dengan rutinitas kerjanya, hingga waktu bagi sang anak tinggallah sisa waktu, sisa energi dan sisa perhatian.

Bagi setiap insan yang akan memasuki gerbang pernikahan, sudahkah memikirkan ini? Mengingat anak muda sekarang semakin diharubiru oleh budaya permisif – serba boleh, dan hedonis (menomorsatukan kesenangan yang bersifat sementara/nisbi). Budaya pacaran seolah adalah kewajiban dan pintu yang mutlak dilewati sebelum memasuki gerbang pernikahan. Adakah pacaran mengokohkan keikhlasan, kesederhanaan, kejujuran, kesetiaan? Adakah pacaran menjernihkan hati, membeningkan jiwa, meningkatkan kelezatan dzikir pada Allah? Adakah pacaran menghantarkan pasangan menjadi semakin jatuh cinta pada-Nya, tunduk pada-Nya, menjauhi larangan-Nya, ikhlas atas segala kehendak-Nya? Pantas saja saat ini lahir masyarakat yang korup, hedonis, berbudaya permisif, memuja kekuasaan dan pasar. Karena arsitek-arsitek miniatur masyarakat ini merintis bangunan keluarga dengan senang-senang dan kedangkalan pikiran, jujur saja mayoritas pacaran diisi dengan kegiatan jalan-jalan, shopping ke mall, wisata pantai, dan sejenisnya. Jarang ada pacaran diisi kegiatan mengunjungi saudara yang kekurangan dan bersedekah, atau dengan mengikuti pengajian, seminar? Karena pacaran bagi anak muda sekarang tidak diorientasikan sebagai tahap terakhir menuju jenjang pernikahan, pintu menuju pencerahan spiritual. Mungkin tak ada pacaran yang masing-masing pribadi berusaha keras menghadirkan Tuhan di antara keduanya.

===================

Duka derita duka laraku di dunia

Tidaklah aku sesali juga tak akan aku tangisi

Sesakit apapun yang kurasakan dalam hidupku

Semoga tak membuatku kehilangan jernih jiwaku

Andaikan dunia mengusir aku dari buminya

Tak akan aku merintih juga tak akan aku mengemis

Ketidakadilan yang ditimpakan oleh manusia

Bukanlah alasan bagiku untuk membalasnya

Asalkan karena itu

Tuhan menjadi sayang padaku

Segala kehendak-Nya

Menjadi surga bagi cintaku

Bukanlah apa kata manusia

Yang kuikuti

Tetapi pandangan Allah Tuhanku

Yang kutakuti

Ada tiadaku

Semata – mata milik-Nya jua

Ada tiadaku

Semata – mata milik-Nya jua

Template is modificated by Trisnadi from ": kendhin x-template.blogspot.com